Nasib Buruh dalam Genggaman Kapitalisme

Katamedia.id, Samarinda – Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, baik terhadap diri maupun keluarganya, seorang kepala rumah tangga harus bekerja. Tetapi apa jadinya lagi asyik menikmati pekerjaan tiba-tiba di PHK alias putus hubungan kerja. Sedih pastinya, ke mana lagi hendak menggantungkan harapan?

Inilah yang terjadi dengan sejumlah karyawan PT Thiess Contractors Indonesia di Melak, Kutai Barat. Dari keseluruhan 1000 orang karyawan, sekitar 200 orang telah alami PHK secara bertahap, dengan alasan habis masa kontrak. Mereka yang telah di PHK tersebut adalah para karyawan yang bekerja di sub kontraktor PT Teguh Sinar Abadi (TSA) dan berasal dari luar daerah. Sedangkan tenaga kerja lokal masih diperlukan. Di sisi lain, pihak manajemen PT TSA Aziz Muslim mengatakan perusahaan mereka akan berakhir produksi pada tahun ini mengingat lahan batu bara PT TSA telah menipis.

Sementara itu, Rudi Suhartono selaku Kepala Kampung Muara Beloan meminta kepada pihak manajemen PT Thiess agar tidak melakukan PHK kepada tenaga kerja yang berasal dari kampung. Mengingat merekalah yang paling terdampak akibat tambang batu bara tersebut. (infokubar.id, 12/2/2023)

Kapitalisme Gagal Lindungi Buruh

Di tengah kesulitan ekonomi dan himpitan kehidupan, nasib buruh atau karyawan semakin terpuruk. Pekerjaan yang sangat dibutuhkan di saat yang sama justru mengalami PHK. Mirisnya, pekerjaan hanya bisa dinikmati segelintir orang saja. Padahal mereka sama-sama sangat membutuhkan pekerjaan. Sebenarnya hal ini menunjukkan kegagalan sebuah negara dalam meriayah (mengurusi) urusan perut rakyatnya dalam hal ini, menyediakan lapangan pekerjaan.

Dalam paradigma sistem kapitalisme
sekuler meminggirkan peranan agama dalam semua aspek kehidupan. Hal itu pun meniscayakan manusia yang berhak mengatur apa pun urusan kehidupannya tanpa peduli halal, haram, baik dan buruk. Berorientasi pada keuntungan, materi dan manfaat. Karyawan akan diperlukan jika mendatangkan manfaat bagi perusahaan. Jika pekerjaan tidak ada atau tambang telah menipis maka kaum buruh akan diputuskan.

Penderitaan kaum buruh dalam sistem kapitalisme semakin bertambah-tambah. Sekali pun mereka digaji tapi sangat murah sedangkan tenaga mereka dieksploitasi. Minimnya upah yang diterima tak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup. Bagi kapitalisme akan memberikan upah minimum atau mendapatkan upah dari sisa setelah biaya produksi. Yaitu buruh akan dibayar berdasarkan biaya yang paling rendah. Maka tak heran jika nasib buruh dalam sistem kapitalisme jauh dari kata sejahtera.

Ironisnya lagi, negara yang seharusnya memegang peranan penting dalam menyediakan lapangan pekerjaan, hanya sebatas regulator tanpa bisa berbuat lebih kepada rakyatnya. Tetapi kepada para kapitalis aseng dan asing berhubungan manis dan memberi angin segar. Mulai dari memberikan lahan tambang untuk dikelola dan dikeruk hasilnya, hingga mendatangkan tenaga kerja dari negara luar. Maka tak mengherankan jika kemiskinan dan penderitaan rakyat di negeri ini tak pernah usai, akibat SDAE yang salah kelola.

Islam Sediakan Lapangan Kerja

“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Islam telah memerintahkan bagi kaum laki-laki untuk bekerja. Dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga, selain bernilai ibadah. Allah membenci mereka yang enggan bekerja alias bermalas-malasan mencari nafkah. Bahkan Rasulullah dengan tegas mengingatkan perkara ini dalam hadis riwayat At-Thabrani yang menuturkan
“Sungguh aku akan marah kepada orang yang menganggur, yang tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat.”

Jika kita membuka catatan sejarah pada kejayaan peradaban Islam. Pada saat hukum-hukum Allah ditegakkan di muka bumi ini maka Islam menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Baik dalam hal sandang, pangan dan papan. Para kaum lelaki tidak ada yang tidak bekerja. Semua disibukkan dengan kewajiban bekerja tanpa meninggalkan kewajiban belajar agama dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Negara sebagai pengurus urusan umat akan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya. Ada yang berprofesi sebagai pedagang, guru, ilmuwan, dokter, bekerja di pemerintahan, dan lain sebagainya. Ketika mereka bekerja pada sebuah perusahaan atau individu, Islam mewajibkan agar orang yang bekerja diperlakukan dengan baik oleh orang yang mempekerjakannya, memperlakukan selayaknya saudara, menghormati, menjaga, dan menunaikan hak-haknya.

Sedangkan upah diberikan berdasarkan syariat Islam. Islam memiliki konsep yang sangat jelas antara karyawan/ buruh dengan para pemilik modal. Mereka akan terikat dengan akad ijarah yang sama-sama saling menguntungkan antara keduanya, mereka tidak boleh saling melanggar kesepakatan.

Dalam kitab Nidhzamul iqtishadiy karya Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani menerangkan bahwa besaran upah pekerja disesuaikan dengan besaran jasa yakni jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja. Apabila pekerja itu seorang profesional dalam bidangnya maka ia berhak mendapatkan upah lebih tinggi. Hak buruh lainnya berupa keselamatan kerja, gaji tepat waktu, tunjangan sosial, dst. Sementara pekerja menjalankan amanahnya kepada pemberi kerja dengan bekerja sebaik-baiknya, tidak merusak alat produksi, atau melakukan perbuatan merugikan lainnya.

Negara Islam akan menjamin perlindungan keamanan, pendidikan dan kesehatan bagi jiwa raga rakyatnya. Seluruh kebutuhan dasar rakyat akan dipenuhi secara merata, adil dan diberikan secara cuma-cuma.

Pendanaan selalu tersedia di Baitul Mal. Ada beberapa sumber yang menjadi pemasukan kekayaan negara seperti  kharaj, fa’i, ghanimah, zakat, dan seterusnya. Serta tak lepas dari pengelolaan kekayaan SDAE yang sesuai syariat. Hasil pengelolaan SDAE hasilnya akan dikembalikan untuk membiayai keperluan rakyatnya. Selaras dengan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi,”Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud)

Betapa mulia Islam memperlakukan manusia termasuk buruh di dalamnya. Tiada sistem terbaik yang sesuai fitrah, memuaskan akal dan menentramkan jiwa kecuali kembali pada aturan-Nya.
Wallahu a’lam bishawwab

Oleh: Mimi Muthmainnah

(Pegiat Literasi)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram