Katamedia.id – Peredaran minuman beralkohol (Minol) di kota Samarinda kian menjadi sorotan. Pasalnya, banyak tempat-tempat yang menjual minol tanpa izin, seperti warung kelontongan hingga mini supermarket. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang meresahkan masyarakat dan dikhawatirkan berdampak khususnya pada remaja.
Untuk itu, Pemkot setempat memutuskan mengeluarkan Peraturan Wali Kota (Perwali) sebagai langkah mengatasi kekosongan Peraturan Daerah (Perda) terkait peredaran minuman keras atau miras di Kota Samarinda yang sudah dicabut dan tidak berlaku. Namun perwali tersebut dikatakan belum rampung dan cukup memakan waktu lama karena masih terus menerima masukan dari berbagai OPD terkait untuk harmonisasi.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, mengatakan bahwa pihaknya akan memastikan pengawasan terkait peredaran minol ini. Pengawasan ini juga akan menyoroti tempat hiburan yang tak mengantongi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (ITPMB).Ia memastikan akan ada penertiban terhadap tempat-tempat hiburan berjenis karaoke.
Nantinya, pengawasan ini dipastikan ke seluruh lini, mulai dari warung kelontong, mini supermarket. Sebab, ia menjelaskan bahwa izin penjualan minol hanya diberikan kepada bar dan restoran di hotel berbintang.Ia juga meminta masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengawasan dan melaporkan jika ada temuan pelanggaran terkait penjualan minol. https://kaltim.tribunnews.com/2024/06/28/perwali-izin-usaha-miras-di-samarinda-bakal-selesai-segera?page=all
Karena Menghasilkan, Maka Boleh
Sebagaimana kita ketahui minol merupakan minuman yang berbahaya bagi kesehatan. Mengkonsumsinya dapat menyebabkan hilangnya kesadaran, kerusakan organ tubuh bahkan kehilangan nyawa. Banyaknya dampak yang ditimbulkan harusnya menjadi bahan pertimbangan untuk menyetop peredaran minol.
Mengaturnya hanya dengan Perwali tidak akan mengurangi dampak yang ditimbulkan. Legal maupun ilegal, berizin atau tidak harusnya komoditi ini dilarang. Hal yang tentu membuat miris ialah di negeri mayoritas muslim, barang haram layaknya minol justru sulit diberantas. Masyarakat disuruh untuk membantu melakukan pengawasan dan pelaporan, namun disisi lain pemerintah justru memberi izin dan memfasilitasi minol karena pajak yang didapat.
Pemerintah serius melakukan patroli terhadap warung dan kios kecil yang notabene tidak memiliki ijin. Sedangkan hotel, pub, dan bar bebas menjual minol tanpa sanksi dan dilindungi undang-undang. Hal ini tertuang dalam UU Larangan Minuman Beralkohol pasal 8 yang menyebutkan bahwa larangan minuman keras masih dikecualikan untuk waktu-waktu tertentu seperti untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh perundang-undangan.
Inilah wajah buruk dalam sistem yang diterapkan saat ini yakni sistem kapitalisme. Di mana sistem ini hidup atas dasar manfaat dan kepentingan. Sulitnya minol diberantas dikarenakan banyak kepentingan yang di akomodir. Bisnis miras dengan perputaran uang yang sangat menggiurkan menjadikan bisnis ini akan terus subur. Ditambah dengan kebijakan yang mendukung para kapital (pemilik modal) lewat UU yang disahkan maka mustahil bisa memberantas minol keakar-akarnya.
Ini pula yang menjadi bukti bahwa paham sekularisme (pemisahan aturan agama dari kehidupan) kuat mengakar di negeri ini. Barang yang jelas-jelas haram dalam agama masih diproduksi sekalipun mendatangkan kemudharatan bagi masyarakat. Asalkan ada manfaat dan materi yang didapat maka semua jadi boleh.
Jelas Haram!
Islam memandang miras atau minuman beralkohol merupakan barang haram karena memabukkan dan menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Dari Ummu Salamah r.a, ia berkata “Rasulullah saw melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud no. 3686 dan Ahmad 6: 309).
Di dalam syariat Islam, seorang pemimpin diwajibkan untuk menjaga 8 hal yakni agama, jiwa, harta, keturunan, kehormatan, keamanan, kedaulatan negara dan yang terakhir akal. Inilah yang menjadi landasan dasar untuk menghilangkan segala sesuatu yang dapat merusak akal manusia, termasuk salah satunya miras. Upaya preventif dan kuratif akan dilakukan oleh negara untuk memberantas miras hingga ke akar-akarnya.
Upaya preventif dilakukan dengan melakukan edukasi dan pengawasan. Semua elemen bersinergi baik itu individu, masyarakat dan aparatur negara untuk melakukan amar makruf dalam mengawasi tempat-tempat yang disinyalir menjadi tempat produksi dan peredaran miras.
Sedangkan upaya kuratif yang dilakukan adalah pemberian sanksi tegas yang akan diberlakukan baik terhadap peminum, pengedar dan yang memproduksi karena hal ini masuk kategori tindak kriminal. Sanksi ta’zir diberlakukan berdasarkan keputusan khalifah atau qadhi (hakim) baik itu bentuk dan kadar sanksinya. Terhadap peminum diberikan sanksi berupa hukuman cambuk sebanyak 40 kali. ditambah dengan rehabilitasi gratis jika masuk kategori kecanduan.
Ali r.a. berkata,
جَلَّدَ رَسُوْلُ اللهِ أَرْبَعِيْنَ وَأَبُو بَكْر أَرْبَعِيْنَ وَعُمَرَ ثَمَانِيْنَ وَكُلٌ سُنّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
“Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)
Sedangkan untuk yang memproduksi dan yang mengedarkan dijatuhi hukuman berat karena dampak luas yang ditimbulkan di masyarakat. Inilah mekanisme efektif yang akan diterapkan oleh negara yang berlandaskan aturan Islam. Sejatinya permasalahan umat akan terus ada dan tidak akan terselesaikan selama hukum yang dipakai bukan berasal dari aturan Islam. Sistem kapitalis saat ini terbukti tidak mampu menyelesaikan, maka sudah seharusnya ditinggalkan. Umat harus beralih pada sistem yang haq yakni Islam, sistem yang maha sempurna dan adil karena berasal dari Sang Pencipta. Wallahu alam bishawab[]